Senin, 21 Januari 2008

sepotong kisah dari masa lalu

“Ayo Tong, kita sholat dulu. Mumpung boardingnya masih lama…”, kata teman saya.
“wah mas, tumben ngajakin sholat. Kok kemarin selama di Praha gak pernah kelihatan sholat?”, saya membalasnya.

“yah, ini khan udah kembali ke negri sendiri. Ya sholat lah…”, teman saya balas menimpali.

Percakapan tersebut terjadi di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta empat tahun silam. Ketika itu, saya dan serombongan duta wisata jawa tengah sedang menunggu pesawat menuju semarang. Kami baru kembali dari lawatan ke republik ceko, sebagai utusan misi kebudayaan. Rombongan kami berjumlah sebelas orang. Empat dari kami adalah pegawai dinas pariwisata jawa tengah. Sisanya adalah duta wisata, semacam putri Indonesia, dan pelajar berprestasi.

Selama satu minggu lawatan kami di negeri barat itu, saya merasakan banyak perbedaan. Di negara yang mayoritas pendudukanya adalah nonmuslim, keimanan kami betul-betul diuji. Dari sebelas orang, hanya satu orang yang beragama katholik. Satu hal yang paling terasa adalah ketika masuk waktu sholat. Di Indonesia, kita dapat dengan mudah mengetahui kapan tiba waktu sholat. Posisi Indonesia yang berada di daerah tropis, membuat perbandingan siang dan malam relatif sama sepanjang tahun. Akibatnya, waktu sholat dapat dengan mudah ditentukan. Kami berada di ceko pada awal musim gugur. Memang tidak begitu jauh berbeda dengan yang saya rasakan di Indonesia. Hanya saja waktu fajar dan petang bergeser satu jam. Saat itu matahari terbit pukul tujuh padi, tenggelam pukul tujuh malam. Untuk menentukan waktu sholat, sebenarnya dengan melihat bayangan, kita dapat mengetahuinya. Namun selama sepekan kami di sana, kami merasakan sinar matahari hanya di hari terakhir. Itupun sore hari. Akhirnya saya mengambil keputusan, untuk mementukan waktu sholat, saya menganalogikan dengan waktu sholat di Indonesia. Ditambah sekitar satu jam agar lebih yakin.

Nah, suatu ketika, kami menghabiskan waktu seharian penuh. Kami berjalan-jalan seputar kota tua (Old Town Square) hingga menjelang petang. Saya kebingungan ketika hendak melaksanakan shalat. Di mana saya akan shalat? Ditambah lagi saya tidak tahu arah. Tidak tahu mana arah utara. Cuaca tidak mendukung saat itu. Langit mendung menutupi pancaran sinar matahari. Apalagi saat itu musim gugur. Matahari tidak berada tepat di atas. Alhamdulillah, akhirnya kami mampir di rumah makan Indonesia. Pemilknya berasal dari Kalimantan. Dia sudah tinggal di Praha selama kurang lebih lima tahun. Dilihat dari namanya, pastilah dia seorang muslim. Setelah saya mengonfirmasi kepada tour guide, saya memberanikan diri untuk meminta izin melaksanakan sholat.

Ketika saya mengutarakan maksud saya, dia agak heran. Lebih tepatnya kebingungan. Dia bingung karena tidak ada ruang yang bisa digunakan untuk sholat. Saya merasa lebih bingung lagi ketika saya menanyakan arah kiblat. Dia menjawab dengan ragu, ”sepertinya ke arah sana…”, sembari menunjuk ke satu arah. Akhirnya dengan niat menghadap kiblat lillahi ta’ala, saya menggunakan sebuah bilik kecil. Bilik ini biasanya digunakan untuk jamuan dua orang. Setelah saya selesai sholat, gantian pendamping saya yang melaksanakan sholat. Anggota rombongan kami yang lain tidak bergerak. Kalau yang wanita, saya bisa memahami, mungkin sedang datang tamu bulanannya.

Demikian pula ketika kami melaksanakan kunjungan-kunjungan di hari-hari berikutnya. Keterbatasan waktu dan ketidaktersediannya tempat, membuat saya sholat di kendaraan ataupun setelah sampai di penginapan. Jarang sekali terlihat dari rombongan kami yang melaksanakan sholat. Terutama yang laki-laki. Teman saya pun demikian. Suatu ketika, teman sekamar saya mengatakan, “tong, sebelum tidur sholat dulu…”
“iya mas, ni baru mau sholat. Lha, njenengan kok gak sholat?”, balas saya.
“nah itu, makanya jangan tiru aku…”, jawabnya.

Sampai akhirnya, kami kembali ke Indonesia dan percakapan tersebut terjadi. Tanda tanya besar pada diri saya. Apakah kondisi umat Islam kita seperti ini? Memang tidak bisa dipukul rata. Tepat sekali jika dikatakan bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada tingkat keimanan seseorang. Seperti halnya bulan ramadhan. Pada awal bulan, umat Islam sangat rajin untuk datang ke masjid, melaksanakan shalat berjamaah, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya. Shaf-shaf selalu penuh. Bahkan sampai memasang atap terpal sebagai tambahan. Alasannya simpel, karena yang lain juga ke masjid. Makin bertambah hari, ada kemajuan. Kemajuan shaf tepatnya. Majelis ilmu mulai sepi.

Meskipun lingkungan berpengaruh, kekuatan ruhani diri kita adalah yang utama. Jika kita sudah memiliki benteng yang kokoh, insyaAllah, gempuran musuh tidak akan mampu menembus pertahanan kita. Semoga tulisan ini dapat membantu menguatkan hati kita, mengingatkan bahwa kita memiliki keleluasaan kesempatan untuk beribadah tidak seperti di belahan bumi lain. Istiqamah dalam beribadah haruslah terus dipertahankan. Persiapan dan bagi diri kita sendiri dan keluarga kita. Kita tidak akan tahu apa yang akan menanti kita di depan. Manusia hanya dpat berusaha, Allahlah yang menentukan hasilnya. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: