Kamis, 31 Januari 2008

Off The Record

Di Balik Program Rehabilitasi Tempat Usaha Kecil Pascagempa

“mas, itu tuh cuma akal-akalan biar dapet duit. Meskipun gak kena apa-apa, tapi disuruh ikutan. Saya aja dari dulu punya usaha, gak pernah dapet pinjaman. Nah itu yang gak punua usaha, malah dapet pinjaman. Yah mas, kalau mau jujur, itu namanya adzab. Alhamdulillah meskipun kena gempa, warung saya tidak apa-apa. Cuma plafon yang jatuh. Sekarang sudah saya perbaiki dengan uang sendiri, gak pake pinjam kesana-sini.”

Laki-laki itu sudah cukup tua, mungkin sekitar enam puluh tahunan. Dia membaca daftar nama yang saya bawa sambil bercerita panjang lebar. Bapak ini mengkritisi program pinjaman bagi usaha mikro yang sedang berlangsung di desanya. Ada sebuah LSM asing yang bekerja sama dengan koperasi wanita setempat. LSM tersebut menyalurkan pinjaman untuk rehabilitasi tempat usaha yang rusak ataupun roboh karena gempa lalu.

Saya bekerja sebagai Independent Expert yang bertugas mengawasi jalannya pembangunan tempat usaha tersebut. Mulai dari survey lapangan, gambar perancangan, hingga pengawasan pembangunan. Tempat pelaksanaan proyek ini di dua kabupaten, Klaten dan Bantul. Kabupaten ini adalah daerah dengan kerusakan terparah akibat gempa. Dana dari LSM asing ini dikelola dan didistribusikan oleh LSM lokal ataupun koperasi setempat. Dalam term of reference yang saya dapatkan, proyek ini adalah program pemberian pinjaman untuk merehabilitasi tempat usaha mikro. Kalau usahanya dagang, berarti sasaran pinjamannya adalah perbaikan warungnya. Kalau usahanya adalah penyedian makanan, berarti tempat usahanya adalah dapurnya. Dalam istilah asingnya, production facilities.

Dalam pelaksanaan di lapangan, saya menemui banyak kejanggalan. Pertama, dari definisi yang dijabarkan, ternyata menuai perbedaan persepsi. Salah satu LSM mendefinisikan bahwa rumah adalah tempat usaha. Jika pemilik rumah memiliki usaha dagang keliling, maka rumahnya adalah tempat usahanya, karena digunakan untuk menyimpan barang dagangannya.
Kedua, program ini terlihat sangat dipaksakan. Ada sebagian anggota koperasi yang ”dipaksa” untuk memiliki usaha. Padahal dia tidak memiliki usaha sama sekali. Salah satu anggota koperasi yang disurvei oleh rekan saya, menceritakan kenyataannya. Orang ini tidak memiliki usaha. Akan tetapi dari pihak koperasi mengajaknya untuk ikut dalam program ini. Pinjaman yang diajukan maksimal sebesar tujuh juta rupiah. Bunga satu persen plus biaya administrasi satu persen. Relatif kecil jika dibandingkan dengan pinjaman dari tempat lain. Tambah lagi jika pinjaman kurang dari tiga juta, tidak perlu memakai agunan. Awalnya bapak ini tidak mau. Namun pihak koperasi cenderung ”memaksa”. Akhirnya si bapak mengalah kemudian membeli ayam. Ketika ditanya usaha apa yang dikerjakan, dengan berat hati dijawab, ”ternak ayam.”
Ketika monitoring mulai dilaksanakan, saya mengorek keterangan lebih banyak dari para pemohon pinjaman itu. Semakin banyak saya berkeliling, daya semakin yakin bahwa ada yang salah dalam program ini. Cukup banyak dari tempat yang saya datangi tidak menunjukan adanya perbaikan tempat usaha. Malah lebih banyak perbaikan rumah sendiri. Bahkan ada yang ketika ditanya awalnya pinjaman tersebut ditujukan untuk pa, ada yang menjawab, ”ya untuk membangun rumah ini. Ini khan belum selesai...”

Saya mendefinisikan tempat usaha, sebagai tempat yang digunakan untuk menjalankan usaha. Tanpa tempat tersebut, usaha yang dikerjakan tidak akan berjalan. Atau minimal seret. Dengan demkian pinjaman ini adalah kredit produksi. Kredit yang digunakan untuk mendukung kelancaran usaha produksi. Pada kenyataannya, malah pinjaman itu lebih cenderung ke kredit konsumsi. Kredit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha yang dijalani saat ini.

Apakah bermasalah? Jelas bermasalah. Saat kondisi masyarakat sedang terpuruk akibat gempa, adanya dana yang datang sangat menolong. Dana yang awalnya dimaksudkan untuk membantu kelancaran usaha, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Adanya ”pemaksaan usaha”, perbaikan rumah yang tidak terkait dengan usahanya, jelas menjadi bukti nyata. Pinjaman yang seharusnya menjadikan masyarakat bisa lebih produktif, malah cenderung konsumtif.

Untung Rugi
Ada tiga pihak yang terkait pada proyek ini. Pertama, pendonor. Jika dikaitkan dengan untung rugi, pihak pendonor tersbut, pada dasarnya tidak rugi. Mereka hanya memberikan dana, dan berharap agar dana tersebut bisa bermanfaat. Disertai laporan yang jelas. Selama dana tersbut dsmpai pada masyarakat yang membutuhkan, kemudian target proyek itu tercapai, mereka tidak aakn mempermasalahkannya.

Pihak penyalur, dalam hal ini, koperasi dan LSM lokal pun tidak rugi. Dana yang mereka kelola adalah hibah sepenuhnya. Dana hibah ini kemudian disalurkan ke usaha kecil dan mikro dalam bentuk pinjaman. Penyaluran dalam bentuk pinjaman dengan harapan agar masyarakat tidak ”keenakan” jika dana tersbut disalurkan langsung dalam bentuk bantuan. Seperti pinjaman yang lain, ada bunga yang harus dibayarkan. Pihak koperasi dan LSM lokal ini menerapkan bunga sebesar satu persen, dan biaya administrasi satu persen.
Bagaimana dengan pihak penerima? Masyarakat penerima pinjaman tersebut sih senang-senang saja ketika menerima uangnya. Namun untuk mengembalikannya itu yang menjadi masalah. Jika dana terebut memang betul-betul digunakan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas usaha mereka, yang berdampak pada kemajuan usaha, tentunya pelunasannya tidak akan jadi masalah. Masalah akan muncul jika usahanya adalah fiktif, ataupun usaha karena ”dipaksa”, ataupun tidak terkait dengan pembangunan fisik. Akibatnya bisa fatal. Ketika pinjaman yang seharusnya diharapkan bisa meningkatkan kapasitas usaha, malah digunakan untuk ”mempercantik diri”. Kredit produktif yang menjadi harapanawal, dalam kenyataan di lapangan berubah menjadi kredit konsumtif. Lebih parahnya lagi, yang mendapat pinjaman adalah masyarakat kecil yang sangat mudah terpengaruh budaya konsumerisme.

Selasa, 22 Januari 2008

Pendaftaran PPSDMS Angkatan IV, 2008-2010

Pendaftaran PPSDMS Angkatan IV, 2008-2010


Program beasiswa PPSDMS NF angkatan IV akan berlangsung Agustus 2008 sampai dengan Juli 2010. Sebagaimana angkatan sebelumnya, peserta yang akan dipilih untuk mengikuti program ini berjumlah 150 orang, dengan rincian sebagai berikut:

  • Regional 1 Jakarta : 30 orang mahasiswa Universitas Indonesia (UI)
  • Regional 2 Bandung : 30 orang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad)
  • Regional 3 Yogyakarta : 30 orang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM)
  • Regional 4 Surabaya : 30 orang mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas Airlangga (Unair)
  • Regional 5 Bogor : 30 orang mahasiswa Institut Pertanian Bogor

Pelamar yang terpilih menjadi peserta program beasiswa PPSDMS NF angkatan IV akan diasramakan dan berkewajiban mengikuti pembinaan selama dua tahun.

Peserta program akan memperoleh beasiswa senilai

Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per bulan

yang meliputi komponen-komponen sebagai berikut:

  1. Asrama dan fasilitasnya (antara lain: kamar tidur dan perlengkapannya, ruang belajar, perpustakaan, komputer, printer, dll.)
  2. Kurikulum pembinaan yang terdiri dari: berbagai Kajian Keislaman, Dialog Tokoh, Diskusi Pasca Kampus, Training Pengembangan Diri (Kepemimpinan, Manajemen, dll.), Olahraga Beladiri, Training Jurnalistik, dan Training Bahasa Inggris.
  3. Uang saku Rp 300.000 per bulan

Peminat Program Beasiswa PPSDMS NF Angkatan IV harus mengisi Formulir Pendaftaran dengan lengkap secara on-line melalui link berikut selambat-lambatnya tanggal 30 April 2008.

for further information : www.ppsdms.org

Senin, 21 Januari 2008

RAMP HALTE BUS TRANS-JOGJA: UNTUK SIAPA ?

RAMP HALTE BUS TRANS-JOGJA: UNTUK SIAPA ?

Oleh: Fahdi Faaz

Peserta PPSDMS Nurul Fikri

Mahasiswa Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Semenjak akan diberlakukannya bus Trans-Jogja, pemerintah langsung melakukan berbagai persiapan. Yang paling terlihat adalah dengan adanya pendirian halte bus. Halte bus inilah yang nantinya diharapkan sebagai satu-satunya tempat bus berhenti untuk menaikkan ataupun menurunkan penumpang. Harapannya bus Trans-Jogja dapat beroperasi setelah halte bus ini sepenuhnya selesai dibangun.

Memperhatikan desainnya, kita akan teringat pada halte bus untuk busway Trans-Jakarta. Bentuknya ramping memanjang, sejajar dengan jalan. Material yang digunakan adalah logam sebagai rangka pembentuknya dan kaca sebagai bidang penutupnya. Terkesan sangat modern. Namun halte bus trans-Jogja ini memiliki beberapa perbedaan dengan halte bus Trans-Jakarta. Pertama, nuansa lokal Jogja masih dapat kita temui di halte ini. Atap miring yang digunakan di beberapa halte, mengingatkan kita dengan rumah tradisional Jawa yang kita kenal dengan panggang pe.

Kedua, dominasi warna coklat pada material aluminium yang digunakan membuatnya terlihat lebih dekat dengan alam. Berbeda dengan warna abu-abu pada material halte bus Trans-Jogja yang didominiasi warna abu-abu. Ketiga, busway Trans-Jakarta memiliki jalur khusus dan calon penumpang masuk dari arah kanan. Sedangkan bus Trans-Jogja nantinya tidak memiliki jalur khusus dan calon penumpang tetap naik dari arah kiri. Seperti halnya halte bus Trans-Jakarta, lantai halte ini lebih tinggi dari muka jalan, dengan harapan penumpang tidak kesulitan ketika akan memasuki bus. Untuk mencapainya pun disediakan tangga dan ramp.

Nah, perbedaan selanjutnya adalah ramp. Ramp adalah suatu bidang miring yang menghubungkan dua ketinggian yang berbeda dengan sudut kemiringan tertentu (lebih landai dari kemiringan tangga). Ramp yang ada di halte bus Trans-Jakarta sangat landai. Hal ini sesuai dengan standar ramp untuk aktifitas manusia. Kemiringan ramp yang digunakan untuk aktifitas manusia menggunakan perbandingan 1:7. Artinya untuk mencapai ketinggian satu meter, maka jarak mendatar yang dibutuhkan adalah tujuh meter. Sebagai perbandingan, kemiringan ramp yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan misalnya mobil adalah 1:8. Contohnya bisa kita saksikan di gedung parkir ataupun di basement gedung yang digunakan sebagai tempat parkir.

Dari pengamatan yang saya lakukan, ramp di halte bus Trans-Jogja ini sama sekali tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hasil pengamatan saya menunjukkan, untuk menuju ke ketinggian lantai halte yang 70-80 cm, jarak mendatarnya hanya 3,1 meter. Ini berarti kemiringannya hanya 1:3. Bahkan ada halte yang kemiringan rampnya sama dengan kemiringan tangga. Idealnya untuk mencapai ketinggian tersebut, jarak mendatar yang dibutuhkan adalah sekitar 4,9-5,6 meter. Kenapa kemiringan ramp ini penting? Sebenarnya untuk siapa ramp itu dibuat? Apakah betul-betul dibuat untuk mereka yang difabel? Atau hanya sekedar formalitas persyaratan perancangan bangunan?

Pada dasarnya, ramp dibuat untuk kemudahan akses bagi kaum difabel. Jika memang diperuntukan bagi kaum difabel maka kemiringan ramp tersebut harus dibenahi karena masih terlalu terjal. Misal suatu saat nanti ada seseorang yang menggunakan kursi roda dan hendak naik bus. Ketika menaiki ramp, ternyata kemiringannya terlalu besar, sehingga orang tersebut tidak dapat menaikinya. Padahal orang tersebut sendirian, dan tidak ada yang dapat menolongnya. Begitu pula jika yang akan menggunakannya adalah seorang kakek renta yang berjalan dibantu tongkat. Tentunya kakek tersebut akan kesulitan untuk menaikinya. Ramp yang seharusnya mempermudah akses malah menjadi penghalang akses. Mumpung belum terlanjur terbangun semua, sebaiknya rancangan ramp ini ditinjau kembali.

Ramp tersebut sebenarnya tidak hanya disediakan bagi para kaum difabel. Semua orang yang normal pun dapat menggunakannya. Jika kita merasa lelah untuk menaiki tangga misalnya. Kemudian ada falisitas ramp yang bisa diakses oleh semua orang. Tentunya kita tidak keberatan untuk menggunakannya. Selama ramp tersebut telah memenuhi persyaratan desain yang standar. Rancangan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan seperti ini kerap disebut universal design.

GLobal eXchage...!!!

informsi eXchange


Kami mencari para relawan untuk berpartisipasi dalam program Global Xchange.

Global Xchange adalah program pertukaran pemuda berusia 18-25 dari berbagai negara untuk memberikan kesempatan bekerja sama, mengembangkan dan saling bertukar keterampilan, serta memberikan kontribusi praktis yang diperlukan oleh suatu komunitas tertentu. Selama 6 bulan, peserta akan tinggal dan bekerja berpasangan (satu dari masing-masing negara).

Program Global Xchange ini akan dimulai dari bulan Maret sampai September 2008. Relawan akan tinggal dan bekerja untuk tiga bulan di sebuah komunitas di Inggris (Maret – Juni 2008) dan diteruskan di Indonesia selamatiga bulan (Juni – September 2008).

Simak keterangan program sebelum mengisi formulir pendaftaran.

Pendaftaran akan ditutup pada hari Kamis, 31 January 2008, pukul 16:00 WIB.

Kami menyarankan Anda untuk mengirimkan formulir pendaftaran melalui email ke alamat berikut GX@britishcouncil.or.id .

Anda juga bisa mengirimkan aplikasi melalui post ke British Council (Global Xchange), Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), Tower II, Lantai 16, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52 – 53, Jakarta 12190.

Hanya kandidat relawan terpilih yang akan mendapat pemberitahuan resmi dari kami dan pengumuman akan kami muat melalui website ini.

Mereka yang terpilih akan mengikuti Assessment Day pada tanggal 14 – 17 Februari 2008. Tempat akan diberitahukan kemudian.

Kami menawarkan kesempatan yang sama bagi semua orang dan mendorong para pelamar dari semua lapisan masyarakat. Kami menjamin wawancara bagi disabled people yang memenuhi persyaratan untuk posisi ini.

Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut atau telepon +62 21 515 5561.
http://www.britishcouncil.org/id/indonesia-society-global-exchange.htm

”UBIN KUNING” MALIOBORO & KOTABARU

”UBIN KUNING” MALIOBORO & KOTABARU

Oleh: Fahdi Faaz

Pemerhati Arsitektur Kota

Mahasiswa Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

(dimuat di Kompas Yogyakarta Rabu 21 November 2007)

Pernahkah kita memperhatikan pola perkerasan di trotoar sepanjang Malioboro? Dari ujung utara di depan Hotel Inna Garuda hingga ujung selatan, kemudian berbelok ke timur hingga pintu masuk ke Taman Pintar. Akan kita jumpai pada ada perkerasan berukuran duapuluh centimeter kali duapuluh centimeter berwana kuning cerah yang dipasang menerus. ”Ubin” yang dipasang ini memiliki dua macam pola. Yang pertama ubin dengan pola tonjolan berbentuk bulat, dan ubin dengan pola tonjolan berbentuk bulat panjang. Ubin ini bernama guiding blocks.

Selain di Malioboro, guiding blocks seperti ini pun dapat kita jumpai di Kotabaru. Tepatnya berada di trotoar tengah yang menjadi pembatas lajur kiri dan lajur kanan jalan. Guiding blocks ini dipasang sebagai alat bantu bagi kaum difabel, terutama tuna netra, jika sedang berjalan. Kaum difabel adalah golongan orang-orang yang memiliki keterbatasan pada kemampuannya, yang membedakannya dengan orang normal biasa. Dulu kita mengenal istilah penyandang cacat. Namun definisi kaum difabel lebih luas lagi, tidak hanya terbatas pada kaum penyandang cacat. Seorang ibu yang sedang hamil tua, seorang kakek renta pun tergolong kaum difabel.

Bagaimana prinsip kerjanya? Pola bulat panjang menunjukan jalan lurus. Sedangkan pola bulat berarti ada perubahan arah. Baik itu berupa belokan karena di depannya ada halangan, atau berupa percabangan jalan seperti halnya jalan umum.Pemasangan guiding blocks adalah sebagai bentuk apresiasi terhadap kaum difabel (dahulu disebut dengan penyandang cacat), agar dapat menikmati fasilitas publik yang ada di kota.

Sayangnya, dari dua tempat yang dijadikan pilot project ini, tidak termanfaatkan sebagaimana mestinya. Di Kotabaru, ubin dipasang pada trotoar tengah. Masalahnya, siapa yang akan memakainya? Bahkan yang bukan kaum difabel pun jarang kita temui berjalan di trotoar tengah itu. Ditambah lagi ada lampu taman tepat berada di tengah-tengah jalur tersebut. Lampu ini mengganggu akses pejalan kaki karena harus berputar ke kanan atau ke kiri untuk menghindarinya. Kaum normal pun enggan, apalagi kaum difabel.

Di Malioboro, trotoar yang dipasangi guiding blocks, makin lama tertutup dengan banyaknya pedagang dan kendaraan yang diparkir. Bahkan boleh jadi sebagian besar orang tidak menyadari bahwa jalur kuning tersbut diperuntukkan bagi kaum difabel. Karena memang tidak pernah ada kaum difabel yang datang dan menggunakanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu saja, ketika diadakan simulasi mengenai aksesibilitas. Itu pun sangat jarang dilaksanakan.

Akses bagi kaum difabel di sebuah lingkungan, sesungguhnya tidak hanya berupa jalur ubin kuning tersebut. Tangga masuk ke suatu gedung misalnya. Bagi seseorang yang normal, tidak ada masalah ketika menaiki tangga. Namun berbeda halnya dengan seorang kakek renta yang berjalan menggunakan alat bantu berupa tongkat, misalnya. Untuk tangga, dibuatlah ramp. Ramp adalah sebuah bidang miring dengan kemiringan tertentu (lebih landai dari kemiringan tangga). Ramp memberikan kemudahan akses bagi semua orang khususnya aku difabel ketika hendak memasuki tempat yang letaknya lebih tinggi.

Kemudahan akses seperti ini masih sulit kita jumpai di kota ini. Aksesibilitas merupakan salah satu isu besar demi mewujudkan suatu kota yang humanis.

sepotong kisah dari masa lalu

“Ayo Tong, kita sholat dulu. Mumpung boardingnya masih lama…”, kata teman saya.
“wah mas, tumben ngajakin sholat. Kok kemarin selama di Praha gak pernah kelihatan sholat?”, saya membalasnya.

“yah, ini khan udah kembali ke negri sendiri. Ya sholat lah…”, teman saya balas menimpali.

Percakapan tersebut terjadi di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta empat tahun silam. Ketika itu, saya dan serombongan duta wisata jawa tengah sedang menunggu pesawat menuju semarang. Kami baru kembali dari lawatan ke republik ceko, sebagai utusan misi kebudayaan. Rombongan kami berjumlah sebelas orang. Empat dari kami adalah pegawai dinas pariwisata jawa tengah. Sisanya adalah duta wisata, semacam putri Indonesia, dan pelajar berprestasi.

Selama satu minggu lawatan kami di negeri barat itu, saya merasakan banyak perbedaan. Di negara yang mayoritas pendudukanya adalah nonmuslim, keimanan kami betul-betul diuji. Dari sebelas orang, hanya satu orang yang beragama katholik. Satu hal yang paling terasa adalah ketika masuk waktu sholat. Di Indonesia, kita dapat dengan mudah mengetahui kapan tiba waktu sholat. Posisi Indonesia yang berada di daerah tropis, membuat perbandingan siang dan malam relatif sama sepanjang tahun. Akibatnya, waktu sholat dapat dengan mudah ditentukan. Kami berada di ceko pada awal musim gugur. Memang tidak begitu jauh berbeda dengan yang saya rasakan di Indonesia. Hanya saja waktu fajar dan petang bergeser satu jam. Saat itu matahari terbit pukul tujuh padi, tenggelam pukul tujuh malam. Untuk menentukan waktu sholat, sebenarnya dengan melihat bayangan, kita dapat mengetahuinya. Namun selama sepekan kami di sana, kami merasakan sinar matahari hanya di hari terakhir. Itupun sore hari. Akhirnya saya mengambil keputusan, untuk mementukan waktu sholat, saya menganalogikan dengan waktu sholat di Indonesia. Ditambah sekitar satu jam agar lebih yakin.

Nah, suatu ketika, kami menghabiskan waktu seharian penuh. Kami berjalan-jalan seputar kota tua (Old Town Square) hingga menjelang petang. Saya kebingungan ketika hendak melaksanakan shalat. Di mana saya akan shalat? Ditambah lagi saya tidak tahu arah. Tidak tahu mana arah utara. Cuaca tidak mendukung saat itu. Langit mendung menutupi pancaran sinar matahari. Apalagi saat itu musim gugur. Matahari tidak berada tepat di atas. Alhamdulillah, akhirnya kami mampir di rumah makan Indonesia. Pemilknya berasal dari Kalimantan. Dia sudah tinggal di Praha selama kurang lebih lima tahun. Dilihat dari namanya, pastilah dia seorang muslim. Setelah saya mengonfirmasi kepada tour guide, saya memberanikan diri untuk meminta izin melaksanakan sholat.

Ketika saya mengutarakan maksud saya, dia agak heran. Lebih tepatnya kebingungan. Dia bingung karena tidak ada ruang yang bisa digunakan untuk sholat. Saya merasa lebih bingung lagi ketika saya menanyakan arah kiblat. Dia menjawab dengan ragu, ”sepertinya ke arah sana…”, sembari menunjuk ke satu arah. Akhirnya dengan niat menghadap kiblat lillahi ta’ala, saya menggunakan sebuah bilik kecil. Bilik ini biasanya digunakan untuk jamuan dua orang. Setelah saya selesai sholat, gantian pendamping saya yang melaksanakan sholat. Anggota rombongan kami yang lain tidak bergerak. Kalau yang wanita, saya bisa memahami, mungkin sedang datang tamu bulanannya.

Demikian pula ketika kami melaksanakan kunjungan-kunjungan di hari-hari berikutnya. Keterbatasan waktu dan ketidaktersediannya tempat, membuat saya sholat di kendaraan ataupun setelah sampai di penginapan. Jarang sekali terlihat dari rombongan kami yang melaksanakan sholat. Terutama yang laki-laki. Teman saya pun demikian. Suatu ketika, teman sekamar saya mengatakan, “tong, sebelum tidur sholat dulu…”
“iya mas, ni baru mau sholat. Lha, njenengan kok gak sholat?”, balas saya.
“nah itu, makanya jangan tiru aku…”, jawabnya.

Sampai akhirnya, kami kembali ke Indonesia dan percakapan tersebut terjadi. Tanda tanya besar pada diri saya. Apakah kondisi umat Islam kita seperti ini? Memang tidak bisa dipukul rata. Tepat sekali jika dikatakan bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada tingkat keimanan seseorang. Seperti halnya bulan ramadhan. Pada awal bulan, umat Islam sangat rajin untuk datang ke masjid, melaksanakan shalat berjamaah, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya. Shaf-shaf selalu penuh. Bahkan sampai memasang atap terpal sebagai tambahan. Alasannya simpel, karena yang lain juga ke masjid. Makin bertambah hari, ada kemajuan. Kemajuan shaf tepatnya. Majelis ilmu mulai sepi.

Meskipun lingkungan berpengaruh, kekuatan ruhani diri kita adalah yang utama. Jika kita sudah memiliki benteng yang kokoh, insyaAllah, gempuran musuh tidak akan mampu menembus pertahanan kita. Semoga tulisan ini dapat membantu menguatkan hati kita, mengingatkan bahwa kita memiliki keleluasaan kesempatan untuk beribadah tidak seperti di belahan bumi lain. Istiqamah dalam beribadah haruslah terus dipertahankan. Persiapan dan bagi diri kita sendiri dan keluarga kita. Kita tidak akan tahu apa yang akan menanti kita di depan. Manusia hanya dpat berusaha, Allahlah yang menentukan hasilnya. Wallahua’lam.

Kamis, 17 Januari 2008

SAMPAH MINGGU PAGI

Apa yang bisa kita lihat setelah Sunday Morning di UGM? Ataupun setelah perayaan sekaten? Ataupun setelah acara nonton bareng? Ya. Sampah. Ratusan bahkan ribuan sampah bertebaran di semua sudut. Di jalan, tepi jalan, di trotoar, di bangku, bahkan di pot tanaman (mungkin ini tempat favorit). Masalah sampah ini dari dulu sudah menjadi tradisi dan susah dihilangkan. Kebiasaan masyarakat pada umumnya untuk menikmati hibura sambil nyemil makanan tingan memang tidak salah. Namun yang menjadi masalah adalah sampah dari bungkus makanan itu.

Di Boulevard UGM pada Sunday Morning misalnya. Ratusan sampai ribuan orang berkumpul untuk menikmati pasar setengah hari yang dibuka untuk umum. Puluhan pedagang, baik makanan, pernak-pernik, hiasan, pakaian, maupun mainan berjajar mulai dari depan pintu timur gelanggang mahasiswa sampai pintu keluar ke arah lembah di sebelah utara masjid kampus. Suasana yang menyenangkan memang, ketika itu hampir semua orang yang datang, berjalan kaki. Hanya beberapa orang yang nekad menaiki kendaraannya di tengah kerumunan itu. Suasana yang sudah sangat jarang dijumpai di kota ini.

Namun jika waktu mulai beranjak siang, dan pengunjung mulai berkurang, akan kita dapati pemandangan yang menyedihkan. Sampah bertebaran di mana-mana. Baik itu berupa sampah plastik, kertas, bahkan beberapa sisa makanan. Suasana lingkungan kampus yang bersih menjadi kotor. Seperti halnya dengan perayaan sekaten beberapa waktu yang lalu. Di kanan kiri jalan, bahkan di tengah alun-alun pun dijumpai banyak sampah.

Siapa yang harus disalahkan? Pengguna? Jelas. Pemerintah / pengelola? Juga bertanggung jawab. Pengguna dalam hal ini masyarakat yang memiliki andil sangat besar. Kebiasaan untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat masih belum menjadi tradisi. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa ketika kita membuang sampah di sembarang tempat, berarti mereka memberi pekerjaan bagi pegawai kebersihan. pendapat ini tidak dapat dibenarkan. Ya kalau sempat dibersihkan. Kalau belum sempat dibersihkan dan tiba-tiba hujan deras mengguyur, sampah-sampah itu terakumulasi di saluran air dan hasilnya, banjir.

Pemerintah maupun pengelola, juga harus ikut bertanggung jawab dalam masalah sampah ini. Bukan hanya dalam mengelola sampah yang sudah ada, tetapi bagaimana cara agar masyarakat tidak membuang sampah di sembarang tempat. Di kampanye membuang sampah kering dan sampah basah memang sudah digalakan. Masalahnya, tempat sampah itu malah ditempatkan di tempat dimana orang jarang berlalu lalang ataupun berkumpul. Sedangka di tempat public, dimana orag banyak berkumpul, justru tidak ada tempat sampah.

Di sepanjang boulevard UGM misalnya. Di area sepanjang dan seluas itu, tidak dijumpai ada tempat sampah di pinggir jalan. Walhasil, ketika ada orang yang makan kemudian bingung mencari tempat sampah, dan tidak menemukan temat sampah, boleh jadi sampahnya langsung dibuang di tempat. Berlaku pula di alun-alun, baik utara maupun selatan.

Bagaimana solusinya? Yang pertama kesadaran untuk membuang sampah di tempat sampah harus menjadi tradisi. Tradisi yang baik, yang jika kita melanggarnya, dampaknya dirasakan kita semua. Yang kedua, pemerintah dan pengelola lebih kritis dan tegas. Baik dalam penyedian tempat sampah maupun dalam menangani pelanggar hukum yang membuang sampah sembarangan. Dalam penyediaan tempat sampah, mungkin kita bisa mengambil contoh dari negri seberang. Di halaman St Vitus Cathedral di Praha, merupakan salah satu ruang publik kota Praha. Di lantainya, setiap radius sekian meter, tedapat lubang yang ditutup kisi-kisi besi yang digunakan sebagai tempat sampah. Karena di bawah muka tanah, tempat sampah ini tidak memakan banyak tempat. Tidak seperti tempat samapah konvensional yang diletakan di atas tanah. Mungkin sistem ini cocok untuk masyarakat kita yang masih sering membuang sampah langsung ke bawah.

Dalam penegakan kebiasaan, kita dapat bercermin dari Singapura yang disebut Fine City. Fine diartikan sebagai denda. Bahkan meludah pun jika dilakukan di sembarang tempat bisa kena denda, apalagi buang sampah. Belajar dari pengalaman semasa orde baru juga, ketiak penguasa bertindak sedikit banyak otoriter, namun berdampak cukup baik di beberapa bidang. Seperti China sekarang. Meskipun jumlah penduduknya mencapai dua milyar, namun ketertiban tetap terjaga. Sistem penegakan hukum yang bertangan besi seperti itu barangkali sewaktu-waktu perlu diterapkan di Indonesia. Siapa tahu?

Artikel dimuat di harian KOMPAS Yogyakarta, Rabu 10 Oktober 2007