Senin, 10 Maret 2008

laskar hellcat



hanya sebuah foto iseng di pantai depok tahun lalu bareng anak-anak kelompok ospek fakultasku

Rabu, 05 Maret 2008

long road to KKN (2)

Ngawi, 17:10
tanah air ku tidak kulupakan
kan terkenang sepanjang hidupku
biarpun saya pergi jauh
tak akan hilang dari kalbu
tanah ku yang kucintai
engkau kuhargai

Aku melihat keluar jendela. Sebuah padang luas terbentang sejauh mata memandang. Warna hijau yang menyejukan pandangan tersebar di segala arah. Diselingi beberapa pohon besar yang berdisi sendiri. Tidak jauh dart padang itu, deretan pohon jati membentuk sebuah hutan. Suatu kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam anugerah yang maha pencipta di bumi nusantara. Bumi yang katanya disebut-sebut sebagai zamrud khatulistiwa karena deratan hutan tropisnya. Kontras dengan fakta yang dicatat Guiness Book Of The World Record bahwa indonesia adalah negara dengan laju deforestisasi alias penggundulan hutan tertinggi di dunia. Dalam sepuluh menit, hutan seluas dua kali lapangan sepak bola, musnah.

Miris sekali ketika berita itu muncul di media sejak kuartal kedua tahun lalu. Di saat dunia sedang menjerit dan berteriak karena adanya pemanasan global, para pembalak hutan di indonesia dengan tenang membabat hutan demi kantongnya sendiri. Yah, tambah kantong ”saudara-saudara”nya lah. Bagi-bagi dosa.

Seperti juga kila saksikan kondisi nelayan di bangsa ini. Sejak mengenakan baju putih celana merah, kita sudah dijejali sebuah pernyataan ampuh,”INDONESIA ADALAH NEGARA MARITIM. INDONESIA ADALAH NEGARA KELUPAUAN TERBESAR DI DUNIA. PULAU-PULAUNYA MEMBENTANG LEBIH DARI 5000 KM DARI TIMUR KE BARAT BERJAJAR LEBIH DARI 17RIBU PULAU.”. Akan tetapi jika kita lihat kondisinya, sangat bertolak belakang. Nelayan adalah salah satu profesi penduduk paling miskin di negeri maritim nan kaya ini. Permukiman nelayan di sudut pulau manapun di indonesia adalah permukiman paling menyedihkan, selain mengenaskan tentunya.

long road to KKN (1)

ahad, 2 maret 2008
terminal penumpang tipe A giwangan, yogyakarta

Arloji di tangan kiriku menunjukan pukul dua puluh menit lebihnya dari pukul dua siang. Akhirnya kami akan segera berangkat setelah tertunda lima jam. Rencananya, kami tim KKN UGM di Tulungagung akan berangkat pada pukul 09.00. Akan tetapi, sandhy sang koordinator, menunda keberangkatan hingga pukul satu siang karena alasan tertentu. Kami berempat, tiga orang dari psikologi dan aku sendiri satu-satunya yang bukan dari psikologi. Keberangkatan kami kesana dengan tujuan memperjelas status usulan program KKN yang sudah kami ajukan beberapa waktu yang lalu. Pada pertemuan dua hari sebelumnya, semua orang yang di tim ini sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kemungkinan pertama, KKN tetap jalan sesuai usulan program yang telah diajukan, dengan resiko kembali dari awal. Kemungkinan kedua, program KKN tetap berjalan, namun programnya menyesuaikan program pemda setempat. Kemungkinan ketiga, bubar.

Kami berkumpul lengkap tepat pada pukul 14.10. Segera kami menuju parkir bus jurusan surabaya yang terletak di ujung timur kompleks terminal bus ini. Saat menuju lokasi, saya sempat bingung karena sandhy tidak mengambil jalur biasanya. Umumnya, setiap kali calon penumpang akan naik bus, ma apenumpang akan menuju peron baik di lantai dasar maupun lantai atas. Baru kemudian menelusuri selasar menuju pool bus yang dituju. Ternyata shandy tidak melakukan hal itu. Dengan ringannya, dia memimpin kami menelusuri sisi selatan terminal, menyusup melalui jalan sempit di samping kios dan kamar mandi, dan ketika kami keluar, kami sudah berada di pool bus antar kota. Ajaib, pikirku. Aku sudah puluhan kali keluar masuk terminal ini sejak mendaftar kuliah, baru tahu kalau ada jalan tikus seperti itu. Yah, entah apa alasannya, apakah karena enggan membayar atau enggan berurusan dengan petugas peron. Tidak mahal sebenarnya untuk membayar tiket peron. hanya dua ratus rupiah per orang sekali masuk. Namun pelayanan dari petugas yang tanpa senyum itu yang kadang membuat gerah.
Kami memasuki bus berjudul EKA. Bus ini memiliki trayek Jogja-Solo-Surabaya via Karangjati. Alhamdulillah, kami cukup beruntung. Ketika kami datang, bus hampir terisi penuh dan siap berangkat. Tempat duduk yang tersisa hanya ada di bagian belakang. Sandhy mengambil tempat duduk sebelah kiri dekat jendela, baris kedua dari pintu belakang. Umi berada di seberangnya bersama Danur. Aku sendiri duduk di belakang Umi. Dia menyarankan agar aku duduk bersama Sandhy. Aku menolaknya. Dia kembali menawarkan apakah aku akan duduk dengannya, sedangkan Danur bersama Sandhy. Aku kembali menolaknya. Kenapa? Secara ya, kalau kondisinya gak darurat, aku gak mau duduk bersebelahan sama seorang perempuan. Di dalam bus pula. Tapi aku klatakan, aku ingin duduk di samping jendela. Masalah selesai.

Belum ada lima menit kami menikmati tempat duduk empuk di bus ber-AC itu, sopir bus langsung mengambil posisi memundurkan kendaraannya. Segera berangkat. Alhamdulillah, pikirku, kami sampai di terminal tepat waktu. Bus yang kami naiki penuh, hampir semua tempat duduk terisi. Hanya tersisa paling satu atau dua tempat duduk. Tidak mungkin ada penumpang yang berdiri. Karena ini adalah bus PATAS. Artinya, penumpang membayar untuk mendapatkan kenyamanan. Salah satunya adalah tempat duduk. Lain halnya dengan bus ekonomi pada umumnya, dimana penumpang membayar hanya agar dapat diangkut. Sebuah pepatah Jawa mengatakan rupa nggawa rega. Artinya wajah membawa harga. Dengan adanya fasilitas yang diberikan tersebut, sudah pasti harga tiketnya lebih mahal.

ﺑﺴﻢﷲ ﺗﻮﻛﻠﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﷲ ﻻ ﺣﻮﻠ ﻮﻻ ﻗﻮﺓ ﺇﻻ ﺐﷲ
ﺴﺒﺣﺎﻥ ﺍﻠﺬﻯ ﺳﺧﺮ ﻟﻧﺎ ﮬﺬﺍ ﻮﻣﺎ ﻛﻧﺎ ﻟﻪ ﻣﻛﺮﻧﻴﻦ ﻮﺇﻦ ﺇﻟﻰ ﺮﺑﻧﺎ ﻠﻣﻦ ﻗﺎﻠﺑﻮﻦ


’Mba EKA’ perlahan mulai bergerak meninggalkan peron terminal. Merambat menuju jalan besar. Iringan four season symphony dari antonio vivaldi mengiringi keberangkatan kami. Yah, sebenarnya mengiringi keberangkatanku sih. Soalnya dari mp3. Bukan dari speaker bus.