Kamis, 31 Januari 2008

Off The Record

Di Balik Program Rehabilitasi Tempat Usaha Kecil Pascagempa

“mas, itu tuh cuma akal-akalan biar dapet duit. Meskipun gak kena apa-apa, tapi disuruh ikutan. Saya aja dari dulu punya usaha, gak pernah dapet pinjaman. Nah itu yang gak punua usaha, malah dapet pinjaman. Yah mas, kalau mau jujur, itu namanya adzab. Alhamdulillah meskipun kena gempa, warung saya tidak apa-apa. Cuma plafon yang jatuh. Sekarang sudah saya perbaiki dengan uang sendiri, gak pake pinjam kesana-sini.”

Laki-laki itu sudah cukup tua, mungkin sekitar enam puluh tahunan. Dia membaca daftar nama yang saya bawa sambil bercerita panjang lebar. Bapak ini mengkritisi program pinjaman bagi usaha mikro yang sedang berlangsung di desanya. Ada sebuah LSM asing yang bekerja sama dengan koperasi wanita setempat. LSM tersebut menyalurkan pinjaman untuk rehabilitasi tempat usaha yang rusak ataupun roboh karena gempa lalu.

Saya bekerja sebagai Independent Expert yang bertugas mengawasi jalannya pembangunan tempat usaha tersebut. Mulai dari survey lapangan, gambar perancangan, hingga pengawasan pembangunan. Tempat pelaksanaan proyek ini di dua kabupaten, Klaten dan Bantul. Kabupaten ini adalah daerah dengan kerusakan terparah akibat gempa. Dana dari LSM asing ini dikelola dan didistribusikan oleh LSM lokal ataupun koperasi setempat. Dalam term of reference yang saya dapatkan, proyek ini adalah program pemberian pinjaman untuk merehabilitasi tempat usaha mikro. Kalau usahanya dagang, berarti sasaran pinjamannya adalah perbaikan warungnya. Kalau usahanya adalah penyedian makanan, berarti tempat usahanya adalah dapurnya. Dalam istilah asingnya, production facilities.

Dalam pelaksanaan di lapangan, saya menemui banyak kejanggalan. Pertama, dari definisi yang dijabarkan, ternyata menuai perbedaan persepsi. Salah satu LSM mendefinisikan bahwa rumah adalah tempat usaha. Jika pemilik rumah memiliki usaha dagang keliling, maka rumahnya adalah tempat usahanya, karena digunakan untuk menyimpan barang dagangannya.
Kedua, program ini terlihat sangat dipaksakan. Ada sebagian anggota koperasi yang ”dipaksa” untuk memiliki usaha. Padahal dia tidak memiliki usaha sama sekali. Salah satu anggota koperasi yang disurvei oleh rekan saya, menceritakan kenyataannya. Orang ini tidak memiliki usaha. Akan tetapi dari pihak koperasi mengajaknya untuk ikut dalam program ini. Pinjaman yang diajukan maksimal sebesar tujuh juta rupiah. Bunga satu persen plus biaya administrasi satu persen. Relatif kecil jika dibandingkan dengan pinjaman dari tempat lain. Tambah lagi jika pinjaman kurang dari tiga juta, tidak perlu memakai agunan. Awalnya bapak ini tidak mau. Namun pihak koperasi cenderung ”memaksa”. Akhirnya si bapak mengalah kemudian membeli ayam. Ketika ditanya usaha apa yang dikerjakan, dengan berat hati dijawab, ”ternak ayam.”
Ketika monitoring mulai dilaksanakan, saya mengorek keterangan lebih banyak dari para pemohon pinjaman itu. Semakin banyak saya berkeliling, daya semakin yakin bahwa ada yang salah dalam program ini. Cukup banyak dari tempat yang saya datangi tidak menunjukan adanya perbaikan tempat usaha. Malah lebih banyak perbaikan rumah sendiri. Bahkan ada yang ketika ditanya awalnya pinjaman tersebut ditujukan untuk pa, ada yang menjawab, ”ya untuk membangun rumah ini. Ini khan belum selesai...”

Saya mendefinisikan tempat usaha, sebagai tempat yang digunakan untuk menjalankan usaha. Tanpa tempat tersebut, usaha yang dikerjakan tidak akan berjalan. Atau minimal seret. Dengan demkian pinjaman ini adalah kredit produksi. Kredit yang digunakan untuk mendukung kelancaran usaha produksi. Pada kenyataannya, malah pinjaman itu lebih cenderung ke kredit konsumsi. Kredit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha yang dijalani saat ini.

Apakah bermasalah? Jelas bermasalah. Saat kondisi masyarakat sedang terpuruk akibat gempa, adanya dana yang datang sangat menolong. Dana yang awalnya dimaksudkan untuk membantu kelancaran usaha, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Adanya ”pemaksaan usaha”, perbaikan rumah yang tidak terkait dengan usahanya, jelas menjadi bukti nyata. Pinjaman yang seharusnya menjadikan masyarakat bisa lebih produktif, malah cenderung konsumtif.

Untung Rugi
Ada tiga pihak yang terkait pada proyek ini. Pertama, pendonor. Jika dikaitkan dengan untung rugi, pihak pendonor tersbut, pada dasarnya tidak rugi. Mereka hanya memberikan dana, dan berharap agar dana tersebut bisa bermanfaat. Disertai laporan yang jelas. Selama dana tersbut dsmpai pada masyarakat yang membutuhkan, kemudian target proyek itu tercapai, mereka tidak aakn mempermasalahkannya.

Pihak penyalur, dalam hal ini, koperasi dan LSM lokal pun tidak rugi. Dana yang mereka kelola adalah hibah sepenuhnya. Dana hibah ini kemudian disalurkan ke usaha kecil dan mikro dalam bentuk pinjaman. Penyaluran dalam bentuk pinjaman dengan harapan agar masyarakat tidak ”keenakan” jika dana tersbut disalurkan langsung dalam bentuk bantuan. Seperti pinjaman yang lain, ada bunga yang harus dibayarkan. Pihak koperasi dan LSM lokal ini menerapkan bunga sebesar satu persen, dan biaya administrasi satu persen.
Bagaimana dengan pihak penerima? Masyarakat penerima pinjaman tersebut sih senang-senang saja ketika menerima uangnya. Namun untuk mengembalikannya itu yang menjadi masalah. Jika dana terebut memang betul-betul digunakan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas usaha mereka, yang berdampak pada kemajuan usaha, tentunya pelunasannya tidak akan jadi masalah. Masalah akan muncul jika usahanya adalah fiktif, ataupun usaha karena ”dipaksa”, ataupun tidak terkait dengan pembangunan fisik. Akibatnya bisa fatal. Ketika pinjaman yang seharusnya diharapkan bisa meningkatkan kapasitas usaha, malah digunakan untuk ”mempercantik diri”. Kredit produktif yang menjadi harapanawal, dalam kenyataan di lapangan berubah menjadi kredit konsumtif. Lebih parahnya lagi, yang mendapat pinjaman adalah masyarakat kecil yang sangat mudah terpengaruh budaya konsumerisme.

Tidak ada komentar: